Travelling
menjadi kegiatan yang cukup berisiko, apalagi kalau travelling yang saya geluti adalah mendaki gunung, memanjat tebing,
melakukan perjalanan menggunakan transportasi darat, laut atau udara. Semuanya sangat
berisiko.
Mama, berulang
kali melarang saya untuk naik gunung, tentunya dengan segala kekhawatiran yang
nantinya akan berisiko pada diri saya sendiri. Namun, saya selalu bisa
memberikan pengertian bahwa saya tidak akan apa-apa. Ternyata pengertian
hanyalah pengertian. Kekhawatiran mama berujung nyata. Dengkul saya harus
mengalami beberapa terapi setelah kejadian itu. Hal ini mengakibatkan saya
harus banyak latihan gerak di area dengkul termasuk latihan berjalan. Cukup lama
vakum mendaki gunung, saya kembali mendaki gunung karena dirasa sudah lebih
baik. Lagi dan lagi mama melarang saya dengan alasan yang beragam, kali ini
saya hanya memasang wajah paling menggemaskan dan menyakinkan mama kembali
kalau saya tidak akan kenapa-kenapa. Dan itu nihil.
Selama melakukan
perjalanan, acap kali mama sering menanyakan kabar melalui messenger pada saya,
belum lagi nasehat-nasehat sederhana namun bermakna banyak melalui tembaga. Saya
paham kekhawatiran mama terhadap saya ketika melakukan perjalanan. Karena memang
banyaknya hal yang tidak dapat diprediksi sepanjang perjalanan. Beda cerita
kalau naik gunung. Mama enggak akan tanya detail mengenai perjalanan saya naik
gunung mungkin sudah capek melarang jadi lama kelamaan masa bodo yang penting
kembali. Tapi hal itu enggak membuat saya semena-mena pada mama, saya tetap memberikan
detail perjalanan gunung yang akan saya daki tersebut atau detail perjalanan yang akan saya lakukan.
“Ma, besok lusa aku naik gunung ABC”
“Hmmm”
“Jam 8 pagi aku enggak ada kabar sampai 3 kali
lusa.”
“Hmmm…”
“Ma, besok aku pergi keliling Jawa Tengah sebulan,
ya.”
“Sama siapa?”
“Sama Kikin.”
“Hm. Pulang kapan?”
“Tepat sebulan, ditanggal yang sama dengan tanggal
keberangkatan.”
“oke.”
Itu hanya
sebagian kecil percakapan izin mengenai kegiatan travelling saya. Pastinya bukan hanya mama saya yang khawatir jika
anaknya melakukan perjalanan yang cukup lama. Dua tahun lalu saya pernah enggak
ada kabar sama sekali selama dua minggu lamanya karena sedang mendaki gunung
yang paling panjang di Jawa. Setelah tiba di basecamp, saya menelepon mama dan mama langsung memarahi saya
karena enggak ada kabar. Antara seneng dimarah atau terlalu lama di dalam
gunung jadi kangen dimarahi. Hft. Meskipun pergi sama orang mama kenal, mama
tetep khawatir. Sungguh.
By the way,
untuk menimimalisir terjadinya resiko yang saya lakukan selama travelling, saya menggunakan asuransi,
baik asuransi perjalanan maupun asuransi untuk diri sendiri. Di transportasi
udara sering kali terdapat kolom asuransi perjalanan bukan, nah, biasanya saya
suka ceklis. Ya, untuk berjaga-jaga saja sih. Ada yang baru dari FWD asuransi
hidup. Per bulan Agustus 2017 ini mereka mengeluarkan semacam produk baru. Asuransi
digital yang kemudian diberi nama FWD Hackathon. Tujuannya adalah mengajak
generasi muda untuk menciptakan inovasi terbaik dalam menciptakan ekosistem
digital sekaligus membangun era asuransi jiwa digital dengan asuransi. Hm. Menurut Pak Rudi Ramdani dengan
inovasi digital teknologi terlahir untuk mendukung transformasi bisnis asuransi
dari aspek underwriting, manajemen risiko hingga klaim, jadi memudahkan untuk
melakukan asuransi yang lebih mudah dan cepat. Sedangkan menurut Andy Zain FWD bisa mendorong generasi muda Indonesia untuk menciptakan karya dan inovasi digital.
Orangtuamu
khawatir juga enggak sih kalau enggak ada kabar sampe berhari-berhari gitu? Kalau
kamu mau jawab pacar enggak perlu dijawab di kolom komentar. Karena itu hanya
akan mencukity pembaca yang lain.
8 Agustus 2017,
Planet Namec
Kesayangan Kamu.
Hai, mba Bena. Hackaton FWD berhadiah ya mba? Suka nih kalau ada banyak inovasi di dunia asuransi
ReplyDeleteDengan adanya asuransi FWD, nggak perlu kuatir juga ya traveling kemana-mana :)
ReplyDelete