Perjalanan dari Tangkahan ke Takengon memakan waktu lebih lama ketimbang Medan – Tangkahan. Ya, perjalanan Darmawisata Bagimu Negeri ini memang mengunjungi destinasi-destinasi pilihan baik yang sudah tersiar maupun yang belum sama sekali tersiar.
Saya tidak menyadari ketibaan kami di Takengon. Keberadaan saya di mobil gerobak membuat saya harus tidur dan tidur terus. Terbangun karena sentuhan tangannya yang menjalari telapak kaki dan pergelangan kaki.
“Bena, tukeran po?”
“Ben..”
“Bena, tukeran aja, ya.”
Katanya sambil membangunkan saya.
“Hm. Apa?” Lirih suara saya.
“Biar kamu enggak muntah.” Sarannya.
“Enggak mau ah.” Tegas saya.
Sebentar, seperti cerita dalam naskah ya percakapan di atas.
Kembali ke Takengon. Kota Takengon di kelilingi oleh bukit-bukit. Benar-benar bukit dengan ketinggian yang beragam dan Takengon berada di tengahnya. Udara yang sejuk dan dingin melewati pernapasan ini membuat diri lupa kalau perjalanan saya sudah hari ke-13. Dua malam di Takengon membuat saya harus terus menggunakan pakaian serba panjang dan sopan serta menutup bagian kepala. Bukan karena suhu yang dingin, melainkan Takengon adalah ibukota dari Aceh Tengah. Beragam suku Gayo tersebar di seluruh penjuru kota Takengon. Kota kecil tapi aktivitasnya layak kota besar pada umumnya…
Surga Takengon dapat terlihat ketika kamu membuka mata dan kembali menutup mata. Terdapat banyak objek wisata yang menjernihkan mata dan menenangkan pikiran yang diantaranya adalah…
Danau laut tawar inilah yang menyambut saya dan tim ketika pertama kali tiba di Takengon. Danau dengan air jernih, udara yang segar membuat saya melakukan bidik per bidik untuk mengabadikan momen indah ini. Penduduk lokal biasa menyebutnya dengan Danau Lut Tawar. Menurut mereka, nenek moyangnya tidak pernah melihat danau yang airnya seluas ini, maka menamainya laut namun airnya tawar sehingga diberikan nama Danau Laut Tawar yang cara membacanya adalah Danau Lut Tawar dan secara turun menurun hingga sekarang tetap menyebutnya Danau Lut Tawar.
Melihat keindahan Takengon dari ketinggian, tempat ini tujuannya. Seperti bukit bintangnya Takengon. Kebanyakan orang berada di sini ketika menikmati sunrise. Melihat matahari terbit dan memantulkan cahaya ke danau menjadikan tempat ini sebagai destinasi mata untuk menjernihkan kembali pengheliatan secara alami. Dalam perjalanan ke Pantan Terong saya melihat hamparan sawah dan hutan yang hijau alami. Anyway, selesai dari Pantan Terong saya sarankan untuk tidak langsung pulang, karena jika beruntung kamu akan menikmati awan biru tanpa polusi di sini. Awan biru dan columus digandeng dengan hamparan sawah dan pepohonan yang rindang membuat kamu enggan pergi dari sini.
Pacuan Kuda
Menurut kabar pacuan kuda di Takengon diadakan 2 kali dalam setahun dan diikuti oleh 3 kabupaten. Pacuan kuda ini sudah diselenggarakan sejak zaman kolonial Belanda tapi setelah panen hasil pertanian. Pacu kuda di Takengon begitu semarak sekali, suara meriah dari komentator dengan nada yang khas juga membuat acara menjadi meriah. Bahkan tidak peduli juga walau gerimis mengundang. Terdapat banyak jajanan juga di lokasi pacuan kuda jika bosan menonton pacu kuda ini.
Saya mendadak cinta dengan Takengon ini. Surga yang dibuat oleh Allah di Takengon sungguh sulit untuk dilupakan. Bidikan foto bahkan tidak dapat menggantikan keindahan mata ketika melihat secara langsung.
Takengon, kota dengan segala yang sejuk dan indah berada di sini. Terima kasih Takengon.
Pantan Terong,
25 November 2017
Kesayangan Kamu.
Pssst, foto awal diambil oleh Kak Rizli Montana.
Pssst, foto awal diambil oleh Kak Rizli Montana.
**
Postingan ini bekerjasama dengan dengan Tripdixi aplikasi
marketplace Indonesia dalam rangka Expose Sumatera. Postingan di media social dapat
dilihat pada hashtag #DarmawisataBagimuNegeri #ExposeSumatera #Tripdixi .