Beberapa bulan lalu saya pergi ke Pohuwato. Saya menyisir jalanan nan lika liku menuju Kecamatan Popayato kemudian naik sampan untuk menyeberangi pemukiman Desa Torosiaje. Desa yang berisi dengan suku Bajo. Masih terasa seperti kemarin perjalanan ini dilakukan.
Dimana ada pesisir di mana ada laut di sana ada orang Bajo. Dikaitkan dengan legenda. Asalnya dari tanah Johor. Meskipun belum ada yang memastikan suku Bajo dari mana. Sejauh ini suku Bajo mengatakan bahwa sukunya termasuk dalam sejarah yang hilang. Penyebaran suku Bajo yang terdapat di Indonesia khususnya Indonesia timur karena hilangnya seorang Putri dari Raja Johor. Sekelompok orang-orang kerajaan mandi di sebuah pulau, namun Putri Johor tidak diberikan izin oleh Raja.
Nama Torosiaje berasal dari 2 suku kata toro dalam Bahasa Bugis koro: Tanjung. Siaje hanya penyebutan dari si haji. Suku Bajo identik dengan suku Bugis. Adat, kearifan lokal, Bahasa, dan kata.
Torosiaje menjadi kunjungan pada hari kedua dalam rangkaian perjalanan ini. Setelah sebelumnya harus naik turun kereta listrik yang harus penuh waspada karena kamera dan laptop berserakan di dalamnya, berganti kendaraan online, berpindah tempat, naik turun pesawat, naik turun mobil menempuh perjalanan berjam-jam hingga akhirnya tiba di Torosiaje. Saya jadi teringat kata Kak Ajo, teman perjalanan saya sekaligus mentor menulis saya. Ka Ajo pernah berkata
“Bena, selama kamu melakukan perjalanan dan berhari-hari bahkan berminggu-minggu lamanya terkadang jadi terbiasa bahkan terlalu biasa. Pindah dari kereta satu ke kereta lainnya, bus ke bus, pesawat ke pesawat, mobil ke mobil, kapal ke kapal. Apa yang kamu rasakan, apa yang kamu lakukan, secara fakta semuanya berubah menjadi rutinitas. Semula yang awalnya menyenangkan, kini menjadi hal biasa bahkan kamu sendiri jenuh."
Memang benar, tapi perjalanan ke Torosiaje menghilangkan rasa bosan itu. Rumah panggung yang tertata, tawa anak kecil yang menyeruak di tengah tenangnya air laut, hamparan laut yang terpampang nyata di sekitar penginapan. Itu semua membuat saya menantikan hal terindah perdetiknya.
Tak puas dengan sunset yang di dapat, saya mengesalinya, keesokkan harinya saya bangun lebih pagi dari biasanya. Entah mengapa pupil seperti disentuh untuk segera bangun. Matahari menyinari semua rumah panggung di sekitar. Cahaya kuning keemasan cukup membuat mata sejuk. Dinginnya air laut pagi itu saya tantang untuk terus mengabadikan setiap gerak-gerik awan. Seperti sangat disayangkan untuk dilewatkan. Penginapan menjadi ramai dengan kawan-kawan lain yang ingin mengabadikan hal sama. Matahari semakin menunjukkan sisi sempurnanya, sunyi itu menjadi riuh dan membuat kami harus segera berkemas untuk berkeliling ke pulau selanjutnya.
Sabang 16,
18 Juli 2017
Kesayangan Kamu.
**
Postingan ini dalam rangka memajukan Pohuwato menuju digital bersama dengan Pemerintah Daerah Pohuwato, Gorontalo dalam hashtag #PohuwatoGoesDigital