Monday, 5 July 2021

July 05, 2021 0

Isolasi Mandiri dari Covid Day - 7

Untuk saat ini sepertinya sakit covid bukan hal yang tabu lagi, ya, saya menyebutnya sakit covid. Ada orang sakit perut karena perutnya sakit, ada penyakit flu burung, diabetes dan lain sebagainya. Covid bukan hal pertama bagi warga Indonesia karena memang sudah di awal tahun 2020 covid menyerang negara Indonesia dan belahan dunia lainnya. 

Perasaan ketika tahu saya sakit endorse ini sedih, menangis dan bertanya-tanya. Kenapa bisa, kenapa kenapa dan tanya kenapa seolah enggan menerima penderitaan endorse dari berbagai dunia ini. Saya berulang kali swab antigen dan menunjukkan hasil yang negative, tapi beda cerita pada sore itu. Seolah awan dan cuaca juga mendukung kondisinya saya, semua mendadak kelabu, suara gluduk serta merta bersama dengan air mata saya yang turun ke wajah melihat garis dua. Dulu garis dua membuat sebagian pasangan bahagia, tapi tidak sejak covid menyerang. Ah! Mengingatnya saja saya menitihkan air mata kembali.

Saya masih ingat betul bagaimana saya berkabar pada orangtua dan adik-adik…

“kakak positif covid, sudah swab antigen, besok akan swab pcr. Maafin kakak ya.”

Terkirim beserta emotikon menangis. Saya yakin respon keluarga saat itu shock dan bingung, sementara saya masih dalam perjalanan kembali ke rumah sambil menangis. Memalukan!

Setiba di rumah dengan berusaha tenang saya menghubungi dokter kantor untuk tetap dijadwalkan Swab PCR dan yak, semesta mendukung (lagi), akhirnya saya Swab PCR di hari yang sama. Bermodalkan pakaian lengan panjang dan tripel masker, saya menuju rumah sakit dan harap-harap cemas pada hasilnya.

Waktu menunjukkan pukul 10 malam, dokter kantor tanpa basa basi mengirimkan hasilnya dan ya positif dengan CT 19,8. Saya bagikan hasilnya pada grup keluarga dan kerabat dekat serta grup kantor tentunya.

Ragam doa dan harapan bermunculan melalui notifikasi, enggak lupa juga ragam dokter dadakan muncul…

“Ben, minum obat ini…”
“Ben, minum obat abc kemarin gue covid juga minum obat itu langsung sembuh.”
“Coba beli ini, terus minum sehari 3 kali gue 3 hari langsung bisa cium.”

Oh tuhan, terima kasih teman-teman atas atensi kalian pada kondisi saya, saya beruntung sekali memiliki kalian. Saya terharu sungguh sangat menghargai itu semua. Namun, kondisi kita berbeda, bung! Kondisi saya dan kamu tidak sama. Saya punya alergi ini, kamu tidak punya alergi ini, saya menderita ini, kamu tidak menderita itu, golongan darah saya x golongan darah kamu y. Meskipun kamu saat covid direkomendasikan oleh suster yang bekerja di wisma atlet sekalipun dan lain sebagainya. Oh wait, saya tidak mendiskreditkan mereka (mohon maaf), namun sesuai faktanya kondisi tubuh seseorang berbeda. Kalau saya membeli semua obat yang direkomendasikan justru saya khawatir covid iya, ginjal iya, dompet kering juga iya. Astaghfirullah. Mari istigfar lagi yang muslim, semuanya~ ASTAGHFIRULLAH

Dan teruntuk teman-temanku yang mengirimkan makanan, buah-buahan, dan vitamin hingga madu terima kasih banyak sekali. Dari lubuk hati yang paling dalam saya menghaturkan terima kasih. Saya tetap konsumsi itu semua meskipun TIDAK ADA RASANYA. Kamu yang kirimkan buat strawberry supaya saya merasakan asam getirnya buah, terima kasih juga. Tetap SAYA TIDAK BISA RASAKAN ASAMNYA BUAH itu. Sedih sekali.

Sejak saya menulis ini, tepat hari ke 7 (tujuh) saya isolasi mandiri. Dan saat ini yang saya rasakan batuk-batuk hingga rasanya kepala mau lepas bahkan terkadang sampai sesak napas. Hilang indera penciuman dan indera perasa. Saya menyayangkan hilangnya 2 (dua) indera ini karena ini hal penting dalam hidup saya. Saya TIDAK BISA MERASAKAN MAKANAN untuk sementara waktu, bahkan saya enggak bisa mencium wangi cabai yang ditumis berbarengan dengan bawang putih dan terasi oleh ibu saya hingga bersin. Saya juga enggak tahu ibu saya masak ikan asin dan tahu-tahu sudah tersedia di depan kamar. Namun dibalik itu semua saya juga bersyukur karena tidak bisa mencium buaya dan merasakan kehadirannya buaya darat yang kini telah menjelma menjadi kupu-kupu.

Selama melakukan isolasi mandiri, saya banyak merenung, berpikir hingga kadang tidur larut malam, belajar (beneran belajar ya membuka buku, menghitung dan sebelajar-belajarnya), baca buku, mendengarkan podcast, menonton film, dan berolahraga dalam kamar. Pokoknya saya melakukan apapun yang menurut saya itu membahagiakan hati nurani saya dan dapat menaikkan imun saya. Sebentar…. Beberapa hari setelah saya covid, saya sempat update kondisi saya di linimasa twitter dan salah satu kawan saya mengatakan “kamu jangan mainan sosmed terus, ngiranya orang-orang nanti kamu bukannya recovery malah mainan sosmed terus.” Awalnya ku pikir benar juga yaa, tapi setelah ku telisik…. Bentar bentar… agak aneh dan gimana gitu ya. Saya tidur sepanjang siang karena obat dan di malam hari.. ah sudahlah tak perlu klarifikasi, pokoknya do what makes you happy, Bena!

Saran dari saya untuk kamu yang sedang berjuang untuk sembuh dengan gejala yang berbeda dari saya (maksud saya gejala yang tidak perlu membuat kamu pergi ke wisma atlet ataupun rumah sakit) adalah minumlah obat sesuai gejalanya, konsultasikan terus perkembangan kondisi kamu ke dokter yang memang menangani mu. Siapkan telepon darurat untuk keperluan darurat kita berharap ini enggak akan terjadi ya. Dan terakhir yang sudah rindu berpelukan tanpa menggunakan masker enggak cuma kamu, saya juga yang lain juga, yang sudah rindu memamerkan lipstik baru juga bukan kamu kok. SEMANGAT BERJUANG! Ayo kita sehat bersama-sama, patuhi protokol kesehatan bukan hanya sekadar tersurat namun terlaksana, kalau bukan kita siapa lagi yang memulai? Untuk kita Indonesia Bangkit melawan Pandemi Covid-19. Cielah banget enggak tuh. Hahaha. Sehat selalu semuanya!

Friday, 4 June 2021

June 04, 2021 0

Perjalanan Dinas Bandung - Subang

Ini postingan pertama setelah sekian lama tidak menulis pada blog pribadi. Kali ini, hendak menulis mengenai ragam pengalaman perjalanan dinas yang saya lakukan selama ini. Jangan berharap lebih pada postingan sub bab baru ini karena tidak tahu alasannya mengapa saya melarang pembaca berharap lebih.


Setelah sekian lama, akhirnya saya merumput kembali, perjalanan dinas (selanjutnya saya akan menyingkat menjadi perdin) kali ini ke Kabupaten Subang, sebuah kabupaten di Tatar Pasundan yang  secara letak geografis berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah Utara, Kabupaten Indramayu di sebelah Timur, Kabupaten Sumedang di sebelah Tenggara, Kabupaten Bandung Barat di sebelah selatan, lalu Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang di sebelah barat. Sisanya bisa kamu googling sendiri dengan keyword sesuka hati untuk memudahkan pencarianmu.


Masih harus bekerja di kantor sebelum merumput guna mempersiapkan segala kelengkapan dan kebutuhan, sementara pimpinan saya sudah standby di Bandung. Dan kereta api saya pilih sebagai moda transportasi dari Jakarta ke Bandung sore hari itu. Dengan ragam alasan juga, saya yakin bahwa kereta api adalah alternatif terbaik saat itu untuk menyelesaikan pekerjaan sepanjang perjalanan. Hingga saya tersadar kalau belum pesan penginapan. Dan inilah puncak permasalahannya.


‘ddrrrttt.... drrttt’ nada dering telepon genggam saya berbunyi.

Pimpinan saya menelepon bertanya perihal penginapan saya bagaimana dan saya dipersilakan menginap di rumah beliau yang konon kata beliau jaraknya sekitar 30-45 menit dari stasiun Bandung ke lokasi.


“Gampang, bu. Nanti saya pesan penginapan saja.” Jawab saya dengan santai tanpa pikir panjang.

“Mau pesan di mana?”

“Nanti saya cari dulu, bu.”


Tak lama telepon dimatikan karena memang beliau tahu saya sedang mengerjakan apa.

Saya bergumam “mudah sekali kamu menjawab wahai Bernavitaaa…”


Tak lama setelahnya, pesan masuk melalui aplikasi yang isinya…

“Kalau menginap di hotel, usahakan cari yang di pusat kota ya, biar gampang dijemputnya dan searah dengan arah kita mau ke Subang.”


“Baik, bu.” Jawab saya


“Kalau kamu mau nginep di sini juga enggak apa-apa, Bena.”

“Saya kirim shareloc nya ya.”


“Siap, bu.”


Tanpa pikir panjang, saya mencari penginapan di pusat kota yang searah dengan perjalanan ke Subang, juga kala itu. Tangan kiri membuka peta melalui telepon genggam, sedangkan tangan kanan membuka aplikasi online travel agent untuk di cocokan dengan peta dan terpilihlah hotel yang namanya cukup familiar bagi warga Bandung. Ya, silakan menebak.


Dan hari sudah gelap, saya tiba di Bandung, tanpa pikir panjang saya mengarah ke hotel menggunakan transportasi daring. Lalu mengurus administrasi, pembayaran dan lain sebagai mana mestinya, kemudian tiba di kamar.


Semua masih tampak baik-baik saja.

Masih amat baik-baik saja.


Waktu menunjukkan tengah malam, saya bersiap diri untuk istirahat. Dan tidak lama hingga saya mendengar suara “ahhh ahhh ahhh” seperti desahan dari kamar depan sebelah kanan. Pikir saya cuma “oh okay.”

Tidur…

Tidur…

Tidur…


Kok terdengar suara tepuk pantat ya…

Oh mungkin lagi ulang tahun jadi pada tepuk tangan.

Istigfar tahap pertama.

Waw, positif thinking sekali ya.


Berusaha tidur

Tidur…

Tidur…

Alarm berbunyi /o/~


“ngik ngek ngik ngek” 

Kok terdengar suara per ranjang bergerak atau bergoyang, ya.

Istigfar tahap kedua.

Istigfar tahap tiga.

Enggan berpikir aneh-aneh, saya bersiap diri dan bergegas untuk segera dijemput pimpinan.


Selama perjalanan ke Subang, saya jadi berpikir….

“Kok gue kayak tidur di penginapan esek – esek sih, padahal hotelnya lumayan terkenal deh. Apa karena salah tempat ya.”

Mikir…

Mikir…

Mikir…

Kemudian terlelap dan tiba di Subang.

Dan inilah akhir permasalahan tanpa solusi.


Sekian cerita perjalanan dinas Bandung – Subang, sampai ketemu di perjalanan dinas lainnya.


4 Juni 2021

Bena